Tuesday, June 3, 2008

"spiritual seeker"

Saya jarang bisa ngobrol dengan bapakku (aku biasa memanggil dia "si Boss" ), tap malam sabtu kemarin kami ngobrol panjang lebar tentang spiritual. Bapakku lebih tahu prakteknya dari pada teori-teori spiritualitas. Sabtu siang saat mancing bareng temen, kami ngobrol tentang spiritual dan supranatural (aku lebih suka dengan istilah metafisika). Senin sore aku ngobrol dengan adikku yang ga pernah ngobrol tentang spiritual, namun sore itu sepertinya dia semangat banget ngobrol tentang spiritual dan agama/religi. Dan tadi pagi secara kebetulan aku menemukan tabloid "Gaya Hidup Sehat" edisi 463/30 mei-05 juni 2008 yang membahas tentang kelompok belajar spiritual. Sepertinya asyik jika tulisan itu kurangkum ke dalam Blog ini supaya suatu saat nanti dapat kubaca ulang. Aku tidak menyetujui seluruh tulisan ini tapi paling tidak bisa dijadikan masukan.

Mencari Tuhan Lewat Jalan Spiritual
Di Indonesia fenomena orang berkumpul untuk belajar spiritual semakin marak. Mereka berkumpul untuk membersihkan diri dari persepsi dan pikiran yang membelenggu supaya bisa menemukan diri yang sebenarnya. Mereka belajar spiritual dari berbagai macam guru sepereti Prof. DR. Khomarudin Hidayat, Anand Khrisna, Marudin Chodjim dan sebagainya.
Mereka kelompok tanpa ikatan, yang bertemu dalam jangka waktu tertentu di kafe, rumah pribadi atau tempat-tempat yang lain untuk mengkaji sebuah pertanyaan tentang hidup yang mereka ingin tahu. Mulai dari soal fenomena mati suri, makhluk cahaya, past life (kehidupan sebelum kehidupan yang sekarang), mendiskusikan buku-buku tentang spiritual yang datang dari berbagai belahan dunia, dan sebagainya.
Di dalam kelompok belajar spiritual suasana yang terasa adalah kuatnya ciri pluralitas. Selain etnisitasnya yang plural, mereka juga memeluk agama yang bermacam-macam, termasuk aliran kepercayaan.
Bagi kelompok belajar spiritual, etnik, kebangsaan, kelas ekonomi, jenis kelamin, profesi, bahkan usia, tidak pernah menjadi masalah. mereka lebih terfokus pada upaya menemukan diri dan Tuhan. Inti ajaran yang mereka pelajari adalah mengenal diri sendiri secara utuh (kawruh jiwa).
Biasanya, kebanyakan dari mereka lebih dulu belajar aneka macam aliran tentang energi: reiki, prana, shambala, dan lain-lain. Sebagian telah mendalami tasawuf dan mempelajari aneka teknik meditasi dan yoga (untuk menenangkan atau membersihkan diri dari pikiran dan energi negatif). Sehingga sebagian dari mereka memiliki ketajaman panca indera (awam menyebutnya indera keenam) dan memiliki kemampuan penyembuhan. Karena itu, banyak di antara mereka yang semula sebetulnya tertarik pada kesaktian, mistikisme, hingga penyembuhan.
Ada pula yang mempelajari spiritual karena sakit. Tak menemukan harapan sembuh lewat cara medis, mereka mencoba teknik alternatif, termasuk belajarmeditasi untuk penyembuhan diri, hingga akhirnya tertarik lebih jauh untuk belajar spiritual.
Menurut Eryca Sudarsono, guru spiritual yang mempopulerkan Candle Healing, "Pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan energi kasar itu sering kali masih diperlukan oleh mereka yang berada di level tertentu, sebagai suatu pembuktian".
Sebagai guru, ia harus memaklumi bahwa setiap orang memiliki praoses belajar dan pencapaian pencerahan yang berbeda-beda. Namun, akhir yang seharusnya dicapai oeh setiap individu, khususnya yang belajar bermacam-macam ilmu dan energi itu, menurutnya adalah pencerahan spiritual.
Bangkitnya Era Kemanusiaan
Di tahun 80-an, banyak Pakar Ilmu Sosial Barat menyebut datangnya era kebangkrutan agama-agama dan bangkitnya era humanisme. Mereka meninggalkan agama yang dianggap tidak mampu lagi menjawab kebutuhan zaman, sebagian di antara mereka kemudian menekuni ajaran spiritual Timur.
Tetapi di Indonesia tahun 80-an justru merupakan era kebangkitan agama. Banyak orang mendadak menjadi pemeluk salah satu agama yang dianjurkan pemerintah: Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Budha. Berbagai aliran kepercayaan sempat dilarang. Sehingga statistik menunjukkan lebih dari 90% penduduk Indonesia beragama.
Namun akhir-akhir ini sebagian penduduk Indonesia merasa tidak cukup dengan hanya mempelajari dan mempraktikan ajaran agama. Mereka menambah porsi belajar mereka dengan mempelajari spiritual. Mereka kadang disebut sebagai spiritual seeker atau orang-orang yang belajar spiritual. Mengapa agama dianggap tidak mencukupi?
Agama bagi meerka diterima sebagi tunutnan (yang bersifat dogmatis), sedangkan dalam spiritualitas Tuhan, diri, dan kebenaran tidak dipahami secara sempit dan hitam-putih. Bagi mereka, hubungan dengan Tuhan adalah urusan pribadi, di ruang-ruang pribadi, dan tidak perlu diurusi oleh organisasi bernama agama.
Hubungan dengan sesama manusia diwujudkan dengan toleransi yang sangat tinggi terhadap perbedaan (termasuk keberagaman agama dan kepercayaan) karena pluralitas merupakan keniscayaan yang diciptakan oleh Allah yang sama-sama mereka sembah.
Bagi mereka agama dinilai banyak mengajarkan ketakutan daripada cinta kasih. Menurut Bramantyo, guru spiritual dari Jogja, "Bukan karena agamanya yangsalah, melainkan karena para guru dan umat keliru menafsirkan ajaran yang disampaikan oleh para Nabi. Bisa dibayangkan, sudah 5.000 tahun agama dipelajari orang, tapi perkelahian dan perang bahkan terjadi di antara penganutnya sendiri".
Wisnu lulusan Fakultas Ushuludin IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan:" Agama tidak menyelesaikan masalah hidup pemeluknya, bahkan menajdi tempat bertumbuhnya rasa ketakutan. Hal ini terjadi karena agama begitu kuat menerapkan hierarki, yang dasarnya adalah ketakutan".
Akhirnya tidak jelas lagi mana kehendak dan kebenaran Tuhan dan mana kehendak dan kebenaran diri guru serta pemimpin agama. Bahkan, kehendak/kebenaran pribadi pun sering diatasnamakan kehendak/kebenaran Tuhan.
Kegelisahan yang dialami itulah yang kemudian mendorong para pemeluk agama mencari sumber ajaran lain (belajar spiritual).
Pendek kata, fenomena kebangkitan spiritual ini dapat dicatat sebagai katub penolong bagi umat manusia yang muak dengan para guru dan pemimpin agama. Dengan demikian, mereka masih bisa menemukan diri sendiri yang sebenarnya, mengerti jalan pulang ke pangkuan Ilahi, dan melanjutkan kehidupan di alam kekal dengan hati bahagia.
"Dasarnya adalah pengetahuan yang diketahui, dirasa, dilihat, dan dialami sendiri. Kalau agama itu dasarnya kepercayaan atau jarene/katanya". Ujar ki Grangsang. Karena itu, dalam ajaran spiritual tidak ada hierarki, semua bersumber pada pengenalan diri. Dan hanya dengan mengenal diri itulah kita bisa mengenal Tuhan.
Menurut Achmad Chodjim, "Agama dan spiritualisme adalah dua hal yang berbeda. Agama adalah jalan hidup bersama umat. Spiritualisme lebih berkaitan dengan kesadaran diri dalam menjalani hidup ini. Tentu keduanya bisa ada di dalam diri seseorang".
Para guru kelompok belajar spiritual memandang positif fenomena belajar spiritual yang semakin kuat di Indonesia. Mereka mengaitkan dengan menjelang datangnya abad Aquarian yang dimulai Desember 2012 menurut kalender Maya. Abad yang bersibol air ini merupakan era kebangkitan kesadaran, "Bangkitnya spiritual berarti bangkitnya kemanusiaan" ujar Chodjim.
Waspadai Jebakan Kesaktian dan Komersialisasi Ilmu
Ada beberapa orang yang memanfaatkan fenomena banyaknya orang yang ingin belajar spiritual untuk kepentingan uang dan pengaruh. Sama dengan praktek agama, ada yang "jual ayat". Mereka ini adalah orang-orang yang mengaku sebagai guru spiritual, tetapi secara halus atau terang-terangan meminta imbal balik yang mahal untuk suatu ilmu.
Selain itu, tak sedikit orang yang kemudian kagum pada diri sendiri karena dianggap sakti oleh dirinya sendiri dan lingkungannya, setelah bisa melihat cahaya saat bermeditasi dan mengira telah bertemu Allah. Ada yang menjadi asyik dengan kehebatan energi, bisa mewujudkan apa yang diafirmasikan, melakukan materialisasi dengan mengambil benda, mendapat uang, bahkan mempesona lawan jenis. Yang lain lagi terjebak dalam komersialisasi, kultus individu, membangun hierarki, dan sebagainya, dengan berbagai dalih.
Bagaimana pun, penomjolan diri, pengakuan diri berlebihan, apalagi pengultusan diri dan komersialisasi pengetahuan sangat berseberangan arah dengan tujuan belajar spiritual itu sendiri. Oleh sebab itu, sering dijumpai orang belajar spiritual tetapi tak mempunyai tujuan yang sebenarnya karena mereka terjebak oleh pesona kemampuan dan pengalaman di luar nalar yang di sebut "kesaktian".
Menurut Bramantyo, "Semua itu adalah keinginan nafsu". Justru itulah yang antara lain harusnya dikendalikan, khususnya oleh mereka yang belajar spiritual. Ia lebih menyarankan untuk belajar beriman kepada Tuhan dan memperkuatnya, daripada belajar ilmu/kesaktian.

2 comments:

zezz said...

good article..
ada beberapa point yang perlu diperhatikan. pertama. jangan membenturkan agama dan spiritual. karena spiritual tidak dilihat dari agama, semua agama mempunyai spiritual bahkan orang2 yang tidak punya agamapun tetap punya spiritual. kita lihat betapa hebatnya orang2 pedalaman dengan semua "ilmu"nya. ketinggian spiritual suatu agama tidak menentukan ketinggian dan pembenaran ajarannya. kita jgn terbelenggu dgn pemikiran itu. ketika suatu saat orang ketemu dgn saibaba yg bisa menurunkan hujan dan menyembuhkan dgn abunya maka orang berbondong menyembahnya. jika besok ada manusia lain yang bisa juga apakah layah disembah.
dalam islam kita mengenal tasawuf disini diajarkan gimana kita menuju tahap makrifatullah. ahli makrifat tidak mencari spiritual. walau mereka diberi Allah kelebihan. burung bisa terbang, bebek bisa jalan diatas air, tidak ada kelebihan dr hal2 itu yg paling penting adalah "Cinta"
ahli tasawuf mempunyai tingkat spiritual tertinggi dizaman ini, ga ada yg bisa menandinginya.. seorang syeikh abdul qadir al jailani, syeikm bahauddin naqsybandi, syeikh abu hasan assazili dsb.. mereka pemimpin para wali..
hehhe akan panjang dan serru tuk dibahas.. next sambung lg..
look my blog di www.sufiroad.blogspot.com
salam

Anonymous said...

Agama hanyalah salah satu upaya manusia untuk menjadi spiritualitas yaitu dorongan untuk kembali padaNya.

Mungkin link artikel di bawah ini menginspirasi Anda.
http://www.kabarsehat.com/2009/07/anak-anak-indigo