Saturday, February 16, 2008

"merubah dunia" (dari hati)

Sebenarnya aku pingin melanjutkan kisah Paijo dan Iyem di "Mendoanku Sayang mendoaku Malang", namun ada satu bahan yang belum sempat aku olah. Lagi pula, saat ini aku seperti dituntun oleh "petunjuk kosmis" untuk melanjutkan belajar meraba kegelisahan PADI di "tak hanya diam".
Di akhir-akhir tulisan tersebut, aku sempat bertanya-tanya: Kenapa Piyu terkesan pesimis dengan berkata bahwa dia nggak bisa merubah dunia? Apakah segala permasalahan di dunia ini, yang sangat komplek dan multi-dimensi, sangat sulit untuk diatasi/dirubah kearah yang lebih baik?
Kemarin aku main ke toko buku, dan secara "tidak sengaja" menemukan tanggapan tentang pertanyaanku di atas. Berikut ini tanggapan yang aku ringkas dari buku "Kecerdasan Spiritual" oleh Sukidi, (2004):
Dunia sedang mengalami krisis global yang sangat komplek dan multi-dimensi, yang telah menyentuh setiap sudut kehidupan; mulai dari kesehatan, mata pencaharian, kualitas lingkungan, hubungan sosial, ekonomi dan lain-lain. Fenomena krisis manusia ini, sangat sulit bila hanya didekati sebagai bagian dari krisis intelektual dan moral saja, krisis yang merambah keseluruh lini kehidupan tersebut sebenarnya berasal dan bermuara pada "krisis spiritual" yang bercokol di dalam diri kita.
Kata Schumacher dalam buku "A Guide for the Perplexed", belakangan ini orang baru sadar bahwa segala krisis justru berangkat dari krisis spiritual dan krisis pengenalan diri kita terhadap Yang Absolut, Tuhan.
Kecenderungan zaman ini: manusia tidak tahu lagi bagaimana mengenal diri sendiri dan menjalani kehidupan di dunia ini secara benar dan lebih bermakna. "the will to meaning", kata psikolog terkemuka, Viktor Frankl.
Fakta fenomena dari tren penyakit spiritual di atas kemudian menjadi sorotan serius ahlipsikologi-spiritual. Psikologi terkemuka Carl Gustav Jung, menyebut krisis spiritual sebagai penyakit eksitensial, di mana eksitensi diri kita mengalami penyakit alienasi (keterasingan diri), baik dari diri sendiri, lingkungan sosial, maupun teralienasi dari Tuhannya.
Masih banyak istilah lain untuk menggambarkan problem spikologis-eksistensial-spiritual dalam diri kita dewasa ini, seperti spiritual alienation, spiritual crises, spiritual pathology, dan spiritual illness, yang kesemuanya itu pada intinya menunjukkan terkoyaknya ruang spiritual dalam diri kita, suatu ruang di mana diri kita terfragmentasi dari pusat-diri, yang kemudian disebut dengan berbagai istilah: "muak" (nausea), alienasi, dan iman buruk.
Mengapa ruang spiritual (spiritual space) dalam diri kita mengalami krisis yang luar biasa hebat? Karena, kita tidak pernah mengisi ruang spiritual itu dengan "hal-hal yang baik" dalam hidup kita. Justru sebaliknya, kita lebih terbiasa mengisinya dengan "hal-hal buruk". Hal itu, dengan sendirinya menjadikan hidup kita terpental jauh ke pinggiran eksistensi diri, yang dalam bahasa teologi keagamaan dinisbatkan dengan "terpentalnya diri kita dari Tuhan sebai asal dan orientasi akhir kehidupan kita".
Karena itu, dari sudut pandang metafisika maupun epistemologi keagamaan, terjadi krisis spiritual bisa disimpulkan sebagai akibat dari kehendak kita untuk memutuskan begitu saja hubungan kita dengan Tuhan. Dan bahkan, dengan sengaja melakukan pemberontakan dan pembangkangan terhadap Tuhan. Kita sering terjatuh, menjatuhkan dan bahkan menjerumuskan diri ke lubang dosa dan nista. Dan itulah simbol keterperangkapan kita ke jurang neraka. Kita dengan sengaja berkorupsi-ria, memakan harta sesama, membunuh sesama saudara, bahkan dengan bangga mengebom "rumah Tuhan".
Sebagaimana kita rumuskan, penyakit spiritual adalah kondisi diri yang terfragmentasi, terutama dari pusat diri. Sedangkan "kesehatan spiritual" adalah kondisi keutuhan yang terpusat. Maka, logika sederhananya adalah: jika kita ingin mengalami kesehatan secara spiritual, sudah sewajarnya kita menjalani kehidupan ini dengan mengambil lokus dalam pusat diri, pusat spiritual, pusat hakiki 'sense of security' kita, yangsebenarnya ada dan bersemayam dalam diri kita sendiri. Dan jika ingin segala permasalahan di luar sana dapat teratasi/berubah menjadi lebih baik, maka atasi dulu permasalahan hati kita.
Fritjof Schuon, jenius terbesar metafisika tradisional, menunjukan bahwa "konsentrasi" diri kita kepada kehidupan ini salah satunya adalah dengan merujuk kepada hati sebagai standar autentik dalam menjalani kehidupan ini, dan sekaligus menjadi pusat kecerdasan spiritual. Dengan menjadikan hati (nurani) sebagai standar autentik kehidupan ini, arah perjalan hidup kita menjadi terarah dengan baik dan benar di tengah semakin gelapnya rimba kehidupan di dunia fana ini.
Pesan Profesor studi Agama di State University of New York, Sachiko Murata, dalam Chinese Gleams of Sufi Light, "barang siapa ingin memerintah suatu negeri, terlebih dulu harus mengatur keluarganya secara benar. Dan barang siapa ingin mengatur keluarganya secara benar dan demokratis, terlebih dahulu harus mengtur dirinya sendiri dengan benar. Serta, barang siapa ingin mengatur dirinya sendiri secara benar, terlebih dahulu harus membuat hatinya menjadi benar".
Dan berikut ini kata-kata yang ditulis di atas nisan seorang Uskup Anglikan (1100 SM) dalam Kuburan Dalam Tanah Gereja Westminister Abbey:
"Tatkala aku masih muda serta bebas dan imajinasiku mengembara tanpa batas, aku bercita-cita ingin merubah dunia. Tatkala aku lebih tua dan bijaksana, aku menyadari bahwa dunia tak akan berubah, dan aku mempersempit sedikit sasaranku serta memutuskan untuk mengubah negeriku saja. Namun, ini pun nampaknya tak dapat diubah.
Tatkala aku kian jauh mengarungi masa tuaku, dalam suatu upaya yang nekat, aku berniat keras untuk merubah kaluargaku saja, mereka yang memiliki hubungan terdekat denganku, namun aduh, mereka pun tak berbeda.
Dan kini tatkala aku berbaring di ranjang kematianku, aku tiba-tiba menyadari: Andai kata dulu aku mula-mula mengubah diriku sendiri saja, melalui teladan, barangkali aku akan berhasil mengubah keluargaku.
Dari inspirasi dan dorongan mereka, aku seharusnya memperbaiki negeriku dan, siapa tahu, aku mungkin dan bahkan mampu mengubah dunia".
Dari kisah dan paparan data di atas, sudah lebih dari cukup untuk menarik kesimpulan besar bahwa untuk mengubah dunia, memang sudah seharusnya kita memulainya dengan menata harmoni keluarga, harmoni diri, dan bahkan harmoni hati dan jiwa.
Sekarang kita sudah tahu apa yang seharusnya kita lakukan untuk merubah dunia dan segala permasalahan yang ada kearah yang lebih baik. Mungkin Piyu lupa akan hal ini, sehingga dia merasa nggak bisa merubah dunia. Padahal dia sangat paham, dalam album Tak Hanya Diam selain bicara tentang "harmoni", dalam lagu "sang penghibur" disebutkan:
"kugerakkan langkah kaki di mana cinta akan bertumbuh, kulayangkan jauh mata memandang tuk melanjutkan mimpi yang terputus, masih kucoba mengejar rinduku meski peluh membasahi tanah, lelah penat tak menghalangiku menemukan bahagia".
Pasti dia hanya "merendah" atau ingin menunjukkan bukti bukan janji; langkah bukan kata-kata, seperti dalam syair:
"aku bukanlah seorang yang mengerti tentang kelihaian membaca hati, kuhanya pemimpi kecil yang berangan tuk merubah nasibnya, ooo... bukankah pernah kulihat bintang, senyum menghiasi sang malam, yang berkilau bagai permata, menghibur yang lelah jiwanya, yang sedih hatinya".
Biarlah itu menjadi rahasia Piyu sendiri, yang terpenting sekarang adalah apakah kita hanya akan seperti kebanyakan orang yang menjadi bagian dari masalah tanpa terpanggil nuraninya untuk menyelesaikan setumpuk masalah yang hadir dan terbentang di hadapan kita?
Memang hidup ada perhentian, tak harus kencang terus berlari. Namun, kita adalah umat yang dinamis, yang tak seharusnya terus berhenti, diam dan terlena tanpa sadar telah terjerumus ke dalam kebobrokan. Mari menghela nafas panjang tuk berlari kembali, melangkahkan kaki, menuju Cahaya, menemukan Bahagia.

No comments: