Thursday, March 13, 2008

kita adalah filosof (sesungguhnya)



(Postingan kali ini dan mungkin beberapa postingan yang akan datang special untuk sahabatku Ogi yang sedang belajar meditasi untuk menenangkan "kegelisahan spiritual" yang menghantui hidupnya. Semoga bermanfaat. Tak ada niat untuk menggurui, karena tak ada murid dan guru di "jalan" ini, tapi mari berjalan bersama dan saling berbagi.)
Setahu saya, filsafat adalah seni bertanya. Dan sejak lahir kita sudah menjadi filosof yang mempertanyakan segala sesuatu yang ingin kita ketahui. Namun, menginjak dewasa jiwa filosof kita melemah, kita merasa bahwa sesuatu itu biasa-biasa saja dan sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaaan tidak lagi membuat kita tertarik untuk mempertanyakannya, karena kita lebih memilih menyibukkan diri dengan urusan yang kita anggap "penting", padahal ada yang lebih penting dari urusan itu. Apa itu? Berikut tulisan Jostein Gaarder dalam bukunya "Sophie's World" yang diterjemahkan menjadi "Dunia Sophie" oleh Rahmani Astuti:
APAKAH FILSAFAT ITU?
Banyak orang mempunyai hobi. Sebagian orang suka mengoleksi koin kuno atau perangko, sebagian yang lain mengabiskan seluruh waktu luangnya dengan olah raga tertentu.
Banyak orang senang membaca. Namun selera membaca itu berbeda-beda. Sebagian orang hanya membaca koran atau komik. sebagian orang membaca novel, sementara yang lain lebih menyukai buku tentang astronomi, margasatwa, atau teknologi.
Jika kebetulan aku tertarik sesuatu, maka aku tidak bisa memaksa orang lain untuk ikut menyukai kesenangku. Jika aku senang menonton semua program olah raga di TV, aku harus menyadari bahwa orang lain mungkin menganggap olah raga itu membosankan.
Tidak adakah sesuatu yang memikat hati kita semua? Tidak adakah sesuatu yang menyangkut kepentingan semua orang-tidak soal siapa mereka atau di mana mereka tinggal di dunia ini? Ya, memang ada masalah-masalah yang jelas akan menarik minat semua orang. Dan itu yang akan dibahas di sini.
Apakah hal terpenting dalam kehidupan? Jika kita bertanya pada seseorang yang sedang kelaparan, jawabnya adalah makanan. Jika kita bertanya kepada orang yang sedang kedinginan, jawabnya adalah kehangatan. Jika kita ajukan pertanyaan yang sama kepada orang yang merasa kesepian dan terasing, jawabnya barangkali adalah ditemani orang lain.
Namun jika kebutuhan-kebutuhan dasar ini telah terpuaskan-masih ada sesuatu yang dibutuhkan semua orang? Para filosof menganggapnya ada. Mereka nyakin bahwa manusia tidak dapat hidup dengan roti semata. Sudah pasti setiap orang membutuhkan makanan. Dan setiap orang membutuhkan cinta dan perhatian. Namun ada sesuatu yang lain-lepas dari semua itu-yang dibutuhkan setiap orang, yaitu mengetahui siapakah kita dan mengapa kita ada di sini.
Tertarik pada pertanyaan mengapa kita berada di sini bukanlah pertanyaan "sambil lalu" sepereti mengoleksi perangko. Orang-orang mengajukan pertanyaan semacam itu ikut serta dalam suatu perdebatan yang telah berlangsung selama manusia hidup di atas planet ini. Bagaimana alam raya, bumi, dan kehidupan muncul merupakan suatu pertanyaan yang lebih besar dan lebih penting dari pada siapa yang memenangkan mendali emas paling banyak dalam Olimpiade yang lalu.
Cara terbaik untuk mendekati filsafat adalah dengan mengjukan beberapa pertanyaan filosofis:
Bagaimana dunia diciptakan? Adakah kehendak atau makna di balik apa yang terjadi? Bagaimana kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini? Dan yang terpenting, bagaimana seharusnya kita hidup? Orang-orangtelah mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini selama berabad-abad. Kita tidak mengenal kebudayaan yang tidak mengitkan diri dengan pertanyaan apakah manusia itu dan dari mana datangnya dunia. Namun sejarah memberi kita jawaban yang berbeda untuk setiap pertanyaan. Maka adalah lebih mudah untuk mengajukan pertanyaan filosofis dari pada menjawabnya.
Sekarang pun setiap individu harus menemukan jawabannya sendiri untuk pertanyaan-pertanyaan yang sama. Namun, membaca apa yangtelah diyakini orang lain dapat membantu kita untuk merumuskan sudut pandang kehidupan kita sendiri.
SATU-SATUNYA YANG KITA BUTUHKAN UNTUK MENJADI FILOSOF YANG BAIK ADALAH RASA INGIN TAHU
Bayi-bayi mempunyai rasa ini. Itu tidak mengherankan. Setelah beberapa bulan berada di dalam rahim mereka ke luar dan menghadapi suatu realitas yang sama sekali baru. Tapi semakin mereka bertambah besar rasa ingin tahu itu tampaknya berkurang. Mengapa begini? Tahukah kamu?
Jika seorang bayi yang baru lahir dapat bicara, ia mungkin akan mengatakan sesuatu tentang dunia luar biasa yang dimasukinya. Kita melihat bagaimana dia melihat berkeliling dan meraih apa saja yang dilihatnya dengan penuh rasa ingin tahu.
Ketika kata-kata mulai dapat diucapkanya, anak itu akan menatap dan mengatakan "Guk-guk" setiap kali dia melihat seekor anjing. Dia melompat-lompat di dalam kereta dorongnya, melambai-lambaikan tangannya:"Guk-guk! Guk-guk!" Kita yang lebih tua dan lebih tahu biasanya merasa agak kecapaian melihat semangat si anak.Kiat bilang "Baiklah, baiklah, itu guk-guk," kita tidak terkesan. "Ayo, duduklah yang manis." Kita tidak terpesona. Kita sudah melihat seekor anjing sebelumnya.
Tampaknya dalam proses pertumbuhan, kita kehilangan kemampuan untuk bertanya tentang dunia dan menganggap dunia itu begini karena memang sudah seharunya begitu. Dan dengan berlaku demikian, kita kehilangan sesuatu yang sangat penting-sesuatu yang oleh para filosof diusahakan untuk dipulihkan. Sebab di suatu tempat di dalam diri kita sendiri, ada sesuatu yang mengatakan pada kita bahwa kehidupan merupakan suatu misteri yang sangat besar. Inilah sesuatu yang pernah kita alami, jauh sebelum kita belajar untuk memikirkan pemikiran itu.
Meskipun pertanyaaan-pertanyaan filosofis itu mengganggu benak kita semua, tidak semua dari kita menjadi filosof. Karena berbagai alasan, kebanyakan orang begitu disibukan dengan permasalahan sehari-hari sehingga keheranan mereka terhadap dunia tersuruk ke belakang.
Bagi anak-anak, dunia dan segala sesuatu di dalamnya itu baru, sesuatu yang membangkitkan keheranan mereka. Tidak demikian halnya bagi orang-orang dewasa. Kebanyakkan orang dewasa menerima dunia sebagai sesuatu yang sudah selayaknya demikian.
Di sinilah tepatnya para filosof itu menjadi tokoh istimewa. Seorang filosof tidak pernah merasa terbiasa dengan dunia. Baginya, dunia selalu tampak tidak masuk akal-membingungkan, bahkan penuh teka-teki. Para filosof dan anak-anak kecil karenanya sama-sama memiliki indra yang penting. Kamu boleh mengatakan bahwa sepanjang hidupnya seorang filosof selalu menjadi seorang anak yang peka.
Jika kamu tidak mengakui dirimu sebagi seorang anak atau pun seorang filosof, maka kamu menjadi begitu terbiasa dengan dunia sehingga dunia itu tidak lagi mengherankanmu. WASPADALAH! kamu berada di atas lapisan es yang tipis dan bersama mereka yang apatis dan acuh tak acuh.

1 comment:

Anonymous said...

bagus...TFS..