Friday, March 7, 2008

IQ, EQ, dan SQ

(sering kali ketiga istilah di atas mampir di kuping kita. namun, terkadang kita sedikit bingung. berikut sedikit penjelasan yang 'ku salin dari buku "kecerdasan spiritual" oleh Sukidi)
PEMETAAN PARADIGMA KECERDASAN:IQ, EQ, DAN SQ
Kecerdasan Intelektual (IQ)
Selama ini kita hanya diperkenalkan dengan IQ sebagai standar pertama dan utama kecerdasan kita. Semakin tinggi tes IQ kita, pada umumnya kita pun dikatakan memiliki kualitas kecerdasan intelektual yang tinggi, dan kemudian kita dipuja-puji sebagai orang "pintar" dan bahkan "berlian". Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tes IQ kita, semakin rendah pula derajat kecerdasan intelektual kita, dan kemudian kita dicap sebagai orang bodoh.
Cerdas-tidaknya otak kita, sepertinya hanya ditentukan melalui tes kecerdasan yang populer dengan sebutan School Aptitude Test (SAT). Ini mengantar kita menuju dekade-dekade yang oleh Gardner disebut "cara berikir IQ": "bahwa orang itu entah cerdas atau tidak terlahir secara demikian; bahwa tak ada banyak hal yang dapat Anda lakukan untuk mengubahnya; dan bahwa tes-tes itu dapat menunjukkan apakah Anda termasuk orang cerdas atau bukan".
Kekhasan cara berpikir IQ terutama terletak pada pemikiran rasional dan logis. IQ memang menjadi fakultas rasional dari manusia. Hal itu misalnya, nampak dari cara berpikir IQ yang cenderung linier, dan merupakan derivasi dari aspek formal, berlogika Aristotelian serta matematis, seperti 2+2=4. Cara berpikir di luar kaidah ini dipandang sebagai tidak baku dan bahkan sering kali dianggap salah.
Diberbagai sekolah dan perguruan tinggi, mahasiswa yang ber-IQ tinggi biasanya menduduki rengking tinggi dansekaligus memperoleh prestasi akademis. Demikian pula dalam dunia kerja; mereka akan segera memperoleh pekerjaan yang menjanjikan selepas dari perguruan tinggi. Apalagi, banyak perusahaan besaar telah lama melakukan semacam "nota kesepakatan" dengan perguruan tinggi bergengsi dalam rangka perekutan lulusan-lulusan terbaik untuk bergabung ke dalam perusahaan.
Mata rantai itulah yang kemudian memperkuat persepsi dan citra dikalangan masyarakat luas bahwa orang yang bre-IQ tinggi akan mempunyai masa depan yang lebih cemerlang dan menjanjikan. Sampai-sampai hal itu merasuk kuat ke dalam ingatan kolektif masyrakat: Ber-IQ tinggi menjamin kesuksesan hidup; sebaliknya, ber-IQ sedang-sedang saja, apalagi rendah, begitu suram masa depanya.
Kecerdasan Emosional (EQ)
Benarkah IQ menjadi kunci kecerdasan untuk meraih masa depan, dan sekaligus satu-satunya parameter kesuksesan hidup?
TIDAK! Inilah jawaban tegas Daniel Goleman. Fakta berbicara lain, dan bahkan berbalik total. Sejak dipublikasikannya EQ tahun 1995, temuan riset Goleman cukup untuk berkesimpulan mengapa orang-prang yang ber-IQ tinggi gagal dan orang yang ber-IQ sedang-sedang saja justru menjadi sukses. Pasti ada faktor lain untuk menjadi cerdas, dan kemudian dipopulerkan Goleman dengan "kecerdasan emosional" (EQ). Demikian kesimpulan Goleman: setinggi-tingginya, IQ hanya menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, sementara yang 80 persen diisi oleh faktor-faktor kecerdasan lain.
Memang, yangsedikit agak aneh dan menjadi pertanyaan bersar adalah: bagaimana membawa kecerdasan pada emosi? Karena, fakta selama ini sering kali berbicara lain: "emosi sering kali membawa kita kepada sikap amarah". Padahal, amarah itu sendiri lazimnya menjerumuskan kita pada sikap tak terpuji.
Siapa pun di antara kita bisa saja marah kepada orang lain, karena marah itu memang mudah. Tetapi, demikian saran bijak fisuf Aristoteles, "marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yang baik, bukanlah hal mudah".
Sebenarnya, denga paradigma EQ, emosi kita hendak dikenali, disadari, dikelola, dimotivasi, dan bahkan diarahkan pada kecerdasan:
Pertama, melalui pengenalan diri terhadap emosi kita terlebih dahulu. Ajaran filsuf Socrates "kenalilah dirimu" jelas menunjukkan inti kecerdasan emosional pada diri kita.
Kedua, emosi tentu saja tidak cukup sekedar untuk dikenali, tetapi lebih lanjut perlu juga disadari eksistensi kehadirannya dalam mempengaruhi kehidupan emosional kita. Goleman sendiri menggunakan wacana Kesadaran-Diri (self-awareness) untuk memberikan porsi perhatian pikiran kita terhadap situasi dan kondisi emosi.
Dengan menyadari sesadar-sadarnya kehadiran eksistensi emosi ini, kita tak lagi dikuasai oleh emosi, tetapi justru sebaliknya-dan inilah poin Ketiga: kita lebih bisa mengelola, menguasai, dan bahkan mengendalikan emosi kita, yang menurut kearifan orang Yunani kuno diberi nama Sophrosyne, yakni "hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan; keseimbangan dan kebijaksanaan emosi yang terkendali". Banyak ajaran agama juga mengajarkan kepada kita agar bisa mengendalikan emosi.
Itulah sebabnya, paradigma EQ yang dikonstruksi Goleman lebih mengacu pada kesadaran diri untuk mengendalikan emosi. Bayangkan, apa yang terjadi jika emosi tak terkendali. konsekuensi negatifnya adalah orang selalu marah-marah. Padahal, sikap marah-marah justru mematikan nalar-itelektual yangsecara otomatis "membunuh" potensi IQ dan EQ sekaligus.
Dalam kontek inilah kita melihat keampuhan EQ dibandingkan dengan IQ. Dalam praktek kerja sehari-hari, misalnya keampuhan EQ ini begitu tampak dan terasa: penuh motivasi dan kesadaran diri, empati, simpati, solidaritas tinggi, dan sarat kehangatan emosional dalam interaksi kerja. Karena itu seringakali orang yang ber-IQ sedang labih sukses dibanding yang ber-IQ tinggi.
Kecerdasan Spiritual (SQ)
SQ merupakan wacana baru yang masih istimewa dalam blantika pemikiran intelektual. Ahli psikologi Danah Zohar dan Ian Marshall yang mempopulerkan SQ pada awal milenium baru melalui karyanya SQ, Spiritual Inteeigence, The Ultumate Intelligence, mengatakan:" SQ is the necessary foundation for the effective functioning of both IQ and EQ. It is untimate intelligence".
SQ adalah paradigma kecerdasan spiritual. Artinya, segi dan ruang spiritual kita bisa memanarkan cahaya spiritual dalam bentuk kecerdasan spiritual.
Dr. Marsha Sinetar menafsirkan SQ sebagai pemikiran yang terilhami. SQ adalah cahaya, ciuman kehidupan yang membangunkan keindahan tidur kita. SQ membangunka orang-orang dari segala usia, dalam segala situasi.
SQ melibatkan kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling dalam. Itu berarti mewujudkan hal yang terbaik, utuh, dan paling manusiawi dalam batin. Gagasan, energi, nilai, visi, dorongan, dan suatu keadaan kesadaran yang hidup bersama cinta.
dari sudut psikologi memberi tahu kita bahwa ruang spiritual pun memiliki arti kecerdasan. Logika sederhananya: di antara kita bisa saja ada yang tidak cerdas secara spiritual, dengan ekspresi keberagamaannya yang monolitik, eksklusif, dan intoleran, yang sering kali berakibat pada kobaran konflik atas nama agama. Begitu juga sebaliknya, di antara kita bisa juga ada orang yang cerdas secara spiritual sejauh orang itu mengalir dengan penu kesadaran, dengan sikap jujur dan terbuka, inklusif, dan bahkan pluralis dalam beragama di tengah pluralitas agama.
REKONSTRUKSI POLA RELASI DAN STRUKTUR ANTARA IQ, EQ, DAN SQ
Pola relasi ini mengandaikan terjadinya relasi positif antara IQ, EQ, dan SQ, meski tetap mengakui adanya diferensiasi, karena sesungguhnya segi diferensiasi IQ, EQ, dan SQ inilah akan memberikan kontribusi pemetaan struktural antara ketiganya dalam struktur kepribadian kita.
Sadar atau tidak, potensi kecerdasan intelektual, emosi, dan spiritual itu ada dalam keseluruhan diri kita sebagai manusia. IQ berada di wilayah otak (brain) kita, yang karenanya terkait dengan kecerdasan otak, rasio,nalar-intelektual. EQ mengambil wilayah di sekitar emosi diri kita, yang karenanya lebihmengembangkan emosi supaya menjadi cerdas, tidak cenderung marah. Sedangkan SQ mengambil tempat di seputar jiwa, hati (yang merupakan wilayah spirit), yang karenanya dikenal sebagai the soul's intelligence: kecerdasan jiwa, hati, yang menjadi hakikat sejati SQ.
Dari sudut pandang model berpikir, cara berpikir model IQ cenderung seri, sementara EQ bersifat asosiatif, dan SQ lebih bersifat unitif (menyatukan).
Dalam spiritual Islam (Al-Qur'an), IQ dapat dihubungkan dengan kecerdasanakal-pikir ('ql); sementara EQ lebih dihubungkan dengan emosi diri (nafs); dan SQ mengacu pada kecerdasan hati, jiwa, yang menurut terminologi Al-Qur'an disebut dengan qalb.
Dari sudut pandang produk kecerdasan dan kebahagiaan, IQ lebih mengcu pada kebahagiaan dan bahkan kepuasan intelektual-material; sementara EQ lebih mengacu pada kebahagian secara insting-emosional; sedangkan SQ akan menghasilkan kebahagiaan spiritual.

No comments: